Pages

Minggu, 15 April 2012

PERBEDAAN TINDAK TUTUR DENGAN PERISTIWA TUTUR


PERBEDAAN TINDAK TUTUR DENGAN PERISTIWA TUTUR

            Peristiwa tutur adalah peristiwa sosial dalam interaksi antara penutur dengan mitra tutur dalam peristiwa atau situasi tertentu. Dapat pula didefinisikan bahwa peristiwa tutur adalah serangkaian tindak tutur yang diorganisasi secara sistematis untuk menyampaikan gagasan atau untuk mencapai tujuan. Menurut Abdul Khair, peristiwa tutur adalah berlangsungnya interaksi antara penutur dan mitra tutur dengan satu topik tuturan dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
            Sedangkan yang dimaksud dengan tindak tutur adalah satuan terkecil dari komunikasi linguistik yang dapat berupa pernyataan, pertanyaan, perintah atau bentuk yang lainnya yang wujudnya berupa kalimat-kalimat (hasil tuturan) dalam situasi atau kondisi tertentu. Menurut Austin, tindak tutur dibedakan menjadi 3 :
1.      Tindak tutur lokusi (Locutiner).
adalah tindak tutur yang digunakan untuk menyatakan sesuatu dan untuk menganalisis,. Dan tindak tutur lokusi ini tanpa mengkaitkan dengan konteks. Kita akan memahami maksud dari tutura itu (mudah didefinisikan), tidak memiliki makna yang lain.
2.      Tindak tutur ilokusi.
adalah tindak tutur yang digunakan oleh penutur untuk melakukan sesuatu.
Contoh : “ Maaf, saya tidak bisa datang, kakak saya sakit”. Tuturan ini dimaksudkan pembicara untuk melakukan minta maaf. Tindak tutur ilokusi harus mengkaji konteksnya dulu.
3.      Tindak tutur perlokusi.
adalah tindak tutur yang dapat memberi pengaruh atau dampak terhadap mitra tutur. Bisa berupa tindakan emosi dan verba. Tindak tutur perlokusi ini lebih sulit di definisikan karena selain harus mengkaji konteks dan tuturan, panutur dan mitra tutur juga harus memiliki latar belakang pengetahuan yangsesuai dengan apa yang ada pada tuturan.


Terjadinya peristiwa tutur itu harus memenuhi apa yang dikatakan oleh Delhaems yang disebut dengan SPEAKING “
S          : Setting (tempat dan suasana tutur).
P          : Participants (peserta tutur).
E         : Ends (tujuan tutur).
A         : Act sequences (pokok tuturan).
K         : Keys (nada tutur).
I           : Instrumentalities (sarana tutur).
N         : Norms (norma tutur).
G         : Genres (Jenis tuturan ).

1.   S : SETTING
                  Dipakai untuk menunjuk kepada aspek tempat dan waktu dari terjadinya sebuah tuturan. Secara umum karakter ini menunjuk kepada keadaan dan lingkungan fisik tempat tuturan itu terjadi. Suasana tutur berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan. Dapat juga suasana tutur dipakai untuk menunjuk batasan kultural dari tempat terjadinya tuturan tersebut. Jadi jelas bahwa tempat tutur (setting) tidaklah sama dengan suasana tutur (scenes) karena yang pertama menunjuk kepada kondisi fisik tuturan sedangkan yang kedua menunjuk kepada kondisi psikologis dan batasan kultural sebuah tuturan. Dimungkinkan pula bagi seorang penutur untuk beralih dari kode yang satu ke dalam kode yang lain dalam suasana tertentu di tempat (setting) yang sama. Sebagai contoh dalam peristiwa transaksi / tawar menawar sandang di sebuah pasar, seorang pedagang mendadak akan berubah dari cara bertutur yang ramah menjadi sangat ketus terhadap calon pembeli karena mungkin dia sangt lamban dan berbelit dalam menawar.

2.   P : PARTICIPANTS
Dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak yang pertama adalah orang kesatu atau sang penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat pula terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga. Pemilih kode yang terkait dengan komponen tutur ini akan melibatkan dua dimensi sosial manusia, yakni dimensi horisontal (solidarity) yang menyangkut hubungan penutur dengan mitra tutur yang telah terbangun sebelumnya dan dimensi vertikal (power), yakni yang berkaitan dengan masalah umur, kedudukan, status sosial dan semacamnya dari pada peserta tutur itu.

3.   E : ENDS
                  Tujuan suatu peristiwa dalam suatu perintah di harapkan sejalan dengan tujuan lain warga masyarakat itu. Sebuah tuturan mungkian sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau sebuah pikiran. Barangkali pula tuturan itu dipakai untuk merayu, membujuk, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Dalam bertutur pastilah orang itu berharap agar tuturannya tidak dianggap menyimpang dari tujuan masyarakatnya. Sebuah tuturan mungkin juga ditunjukkan untuk merubah perilaku diri seseorang dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan untuk merubah perilaku seseorang itu sering pula disebut sebagai tujuan konotatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk memelihara kontak antra penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah tuturan. Demikianlah, orang yang bertutur pastilah memiliki tujuan dan sedpat mungkin penutur aka berupaya untuk bertutur sejalan dengan tujuan dari anggota masyarakat tutur itu.

4.   A : ACT SEQUENCES
                  Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang tidak pernah tetap, artinya bahwa pokok pikiran itu akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan pokok tuturan itu sudah barang tentu berpengaruh terhadap bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur. Dengan perkataan lain pula perpindahan pokok tuturan dalam bartutur itu dapat pula menyebabkan terjadinya alih kode.

5.  K : KEYS
                        Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur ini berkaitan eret dengan masalah modalitas dari kategoti-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat m,enunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya. Nada tutur dapat pula dibedakan menjadi nada tutur yang sifatnya verbal dan non verbal. Nada tutur verbal dapat berupa nada, cara, dan motivasi yang menunjuk pada warna santai, serius, tegang, cepat yang telah disebutkan di depan. Adapun nada tutur non verbal dapat berupa tindakan yang bersifat para linguistik yang melibatkan segala macam bahasa tubuh (body language), kial (gestur), dan juga jarak selama bertutur (proximis). Nada tutur yang bersifat non verbal ini sangat penting perannya dalam komunikasi. Bahkan dalam masyarakat tutur Jawa, nada yang non verbal ini dipakai sebagai salah satu parameter tata krama dari seseorang. Orangb yang berbicara dengan jari yang menunjuk kepada mitra tutur dapat dipakai dalam indikasi bahwa penutur itu kurang sopan/tidak bertatakrama dan bukan berciri “Jawa”. Demikian juga kalau seorang penutur bertutur dengan mitra tutur yang lebih tua dan penutur itu bertutur dengan memandang wajah mitra tuturnya dapatlah dikatakan bahwa penutur itu juga belum njawani.

6.  I : INSTRUMENTALITIES
                        Sarana tutur menunjuk kepada salutan tutur (channels) dan bentuk tutur (form of speech). Adapun yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat di mana tuturan tiu dapat dimunculkan oleh penutur dan sampai kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, saluran bahkan dapat pula lewat sandi-sandi atau kode tertentu. Saluran l;isan dapat pula berupa silan, nyanyian, senandung, dan sebagainya. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai sistem yang mandiri, dialek dan variasi-variasi bahasa yang lainnya. Bentuk tutur akan lebih banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai oleh penutur itu dalam bertutur. Bentuk tutur orang bertelpon pastilah berbeda dengan orang bertutur dengan tanpa menggunakan pesawat telepon. Dalam peristiwa transaksi barang mewah terjadi tawar menawar dilakukan lewat pesawat telepon, pasti bentuk tuturnya berbeda denag tawar menawar langsung yang dilakukan dengan tanpa peasawat telepon.

7.  N : NORMS
                        Norma tutur dibedakan atas dua hal yakni norma interaksi (interaction norm) dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norm,a interaksi menunjuk kepada dapat/tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Sebagai contoh dalam masyarakat tutur Jawa, manakala ada orang sedan bertutur denga orang lain, kendatipun kita amat sangat berkepentingan dengan seseorang yang telibat dalam peristiwa tutur itu, Kita tidak boleh memenggal tuturan mereka. Artinya bahwa pemenggalan percakapan yang sedang berlangsung dan pihak ketiga akan dianggap sebagai pelanggar norma, yakni norma kesopanan yang ada dalam masyarakat tutur Jawa itu. Di dalam masyarakat tutur Jawa juga tidak diperkenankan orang bertutur dengan tidak memperhatikan keberadaan sang mitra tutur. Artinya bahwa dominasi waktu dan kesempatan yan dilakukan oleh penutur saja akan mengakibatkan kesan tidak baik dari pihak mitra tutur terhadap penutur itu. Di samping itu norma interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang telibat dalam komunikasi untuk memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi para mahasiswa dalam hal norma interpretasi. Para mahasiswa Arab lebih sering melakukan pertentangan dan pertengkaran yang dilakukan dengan berhadapan muka. Namun demikian, mereka juga sering duduk berdampingan antara yang satu denga yang lainnya. Para mahasiswa Arab juga sering berbicara denga suara yang lebih keras dari pada mahasiswa Amerika (Graves, 1996 dalam Gumpers, 1972). Akhirnya dapat pula disampaikan bahwa norma interpretasi erat sekali kaitannya dengan sistem kepercayaan masyarakat tutur itu. Orang Jawa percaya bahwa mereka yang berumur lebih tua adalah sesepuh mereka. Oleh karenanya mereka akan lebih cenderung dihargai dalam bertutur. Menytampaikan hal yang sama akan lebih diinterpretasikan denga arti yang berbeda jika itu disampaikan oleh orang yang sebaya atau bahkan lebih muda dari sesepuh itu. Hal demikian dapatlah digunakan sebagai bukti bahwa norma interaksi dalam suatu masyarakat tutur pastilah tidak dapat dipisahkan dari sisitem kepercayaan dan adat istiadat yang terdapat dan berlaku di daerah itu.

8.  G : GENRE
                        Menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Maksudnya adalah bahwa jenis tutur ini akan menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato dan semacamnya. Berbeda jenis tuturnya akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur itu. Orang berpidato tentu menggunakan kode yang berbeda denga kode orang bercerita. Demikian pula orang yang bercerita tidak dapat disamakan dengan kode orang yangsedang bercakap-cakap.

TUGAS

PERBEDAAN TINDAK TUTUR DENGAN PERISTIWA TUTUR

Tugas Ini Dibuat Guna Melengkapi Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik Semester VI
(Dosen Pengampu Dra. Triwati Rahayu, M. Hum.)








Disusun oleh
  NAMA         : Dian Nurcahya Nugraha
  NIM              : 07003077
  KELAS        : C



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2009

0 komentar:

Posting Komentar