Pages

Minggu, 15 April 2012

NOVEL "Masihkah Bintang di Jogja"

Masihkah Bintang di Jogja

Malam itu, seperti malam-malam biasanya. Langit kota Jogja tampak muram, berkabut dan hanya terlihat beberapa bintang yang sesekali menghilang di balik awan. Sungguh malang kota Jogja. Batinku. Bagaimana tidak? Ditengah hingar bingar hiburan malam, gemerlap lampu di jalan-jalan, dan kemegahan konser musik yang datang silih berganti, ada satu kemirisan. Langit kota Jogja sepi, seakan hampir mati. Asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor yang tak terhitung jumlahnya telah membuat langit Jogja tertutup kabut. Membuatnya selalu tampak mendung. Murung. Dan menghalangi gemerlap cahaya bintang yang semestinya jadi teman sejati malam.

Sungguh jauh berbeda dengan keadaan di desaku. Saat malam tiba, langit tampak begitu cerah, jutaan bahkan milyaran bintang bersinar begitu terang. Langit laksana hamparan permadani hitam dengan hiasan manik-manik bintang. Memang tak ada konser musik disana. Tak ada bioskop apalagi mall-mall megah yang buka sampai larut malam. Tapi disana juga tidak ada asap-asap hitam yang berasal dari pabrik dan ribuan kendaraan bermotor yang bisa mengotori langit malam. Disana kita bisa memandangi bintang-bintang di langit sepanjang malam, sebanyak yang kita inginkan. Aku merindukan bintang. Aku merindukan kampung halamanku yang tenang dan nyaman.

***

Al-qur’an menjelaskan bahwa sejatinya bintang-bintang diciptakan untuk tiga tujuan. Sebagai hiasan langit, sebagai penunjuk arah dan sebagai penjaga langit atau pelempar bagi syaitan-syaitan apabila mereka hendak mencoba mencuri dengar. Seiring perkembangan zaman yang semakin modern, manusia telah menciptakan sendiri satu fungsi tambahan bintang yaitu sebagai alat untuk meramal. Astrologi. Begitu ilmu meramal dengan menggunakan bintang yang didasarkan pada tanggal lahir itu biasa disebut. Akan tetapi, patutkah seorang muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya mempercayai astrologi?

“Bin....Bintang....”panggil salah seorang teman kosku.

Belum lagi aku menyelesaikan satu paragraf artikelku, Dina mengetuk pintu kamarku. Akupun segera beranjak dan membuka pintu.

”Ada apa?”tanyaku singkat.

”Ada temen kamu tuh nyariin. Dia masih nunggu di depan. Belum aku suruh masuk”

“Cowok atau cewek?”

“Cowok...”

“Tolong bilangin aja kalo aku ga bisa menerima tamu cowok malem-malem..”

”Serius neh?”tanyanya meyakinkan.

”he-eh...”aku mengangguk

Dina pun pergi menemui cowok tadi. Samar-samar ku dengar teman cowokku itu protes padanya.

”Emang Bintang lagi ngapain sih? Sibuk ya? Sampe-sampe mau bertamu aja ditolak? Dasar cewek sombong.”gerutunya.

Aku kembali menutup pintu kamarku dan mencoba melanjutkan mengetik artikel yang tadi sedang aku ketik.

”Ah....”rasanya aku sudah tidak ada mood lagi untuk menulis.

Ku putuskan untuk keluar kamar dan duduk-duduk di balkon lantai atas kosku. Dari sana aku bisa memandang langit dengan leluasa. Meskipun langit kota Jogja tak seindah langit di desaku, tapi hobiku untuk memandang langit tak berkurang sedikitpun disini. Memandang langit malam adalah hiburan kota Jogja yang paling aku sukai. Selain karena memang murah meriah alias gratis, bagiku memandang langit dan ciptaan ALLah yang lain menumbuhkan perenungan yang mendalam.

Sudah 4 tahun lebih aku berada di Jogja. Studi S1-ku selangkah lagi selesai. Tinggal menunggu wisuda saja. Melihat prestasiku yang cukup baik di universitas, beberapa dosen telah menawariku pekerjaan. Cukup menggiurkan. Tapi, ada satu kecenderungan hatiku yang meminta aku pulang ke kampung halaman. Jauh di seberang samudera sana. Di sebuah desa kecil dimana aku bisa dengan puas memandang bintang-bintang yang terhampar di langit malam. Aku ingin mengabdi untuk masyarakat di sana. Masyarakat yang miskin tekhnologi, miskin ilmu pengetahuan, tapi kaya hati, kaya dengan alam dan kaya dengan bintang-bintang.

Aku tidak tau apakah aku akan kembali lagi ke Jogja suatu hari nanti. Kalaupun aku kembali, aku berharap ada suatu perubahan besar di Jogja. Perubahan yang membawa Jogja menjadi lebih baik, lebih indah, lebih nyaman untuk ditinggali dan lebih dirindukan oleh orang-orang yang pernah tinggal disana. Dan semoga bintang-bintang yang terhalang oleh kabut hitam akan segera menampakan cahayanya. Menghiasi langit malam Jogja dan menjadi hiburan paling indah dan paling murah bagi anak-anak kos seantero kota.

Look at the stars
Look how the shine for u
and everything U do
yeah, they were all yellow

Lirih, ku senandungkan lagu “yellow”nya coldplay.

***

0 komentar:

Posting Komentar