Pages

Minggu, 15 April 2012

NOVEL "SAAT TEMARAM SENJA"



SAAT TEMARAM SENJA

Allah itu pencemburu…
Begitulah yang aku baca di sebuah buku…
Dan aku takut DIA akan cemburu jikalau aku membagi cintaku padamu…
Karena aku tau kalau hatiku ini rapuh… bahkan sangat rapuh…
Kalau aku memberikan sebagian cintaku padamu…
Aku takut hati dan pikiranku akan lebih cenderung padamu…
Aku takut Allah akan cemburu dan meninggalkan aku…
Bagi-NYA…akan sama saja apakah aku mencintai-NYA atau tidak…
Karena aku sedikitpun tidak bisa memberi manfaat ataupun mudharat pada-NYA…
Tapi bagiku… kalau DIA meninggalkan aku maka hilanglah segalanya dariku…
Tak terkecuali kamu…
Senja itu, ku biarkan goresan penaku memenuhi halaman secarik kertas dengan kata-kata yang entah dari mana datangnya. Coretan-coretan itu ku tulis begitu saja tanpa rencana tanpa berpikir berlama-lama. Aku berharap dengan menulis gelora didalam hatiku bisa sedikit teredam. Entah kenapa beberapa hari terakhir ini dia terus saja berdiam di pikiranku. Dia yang begitu berkharisma, rajin beribadah, yang begitu santun, selalu murah senyum, menatapnya membuatku sampai lupa untuk menahan pandangan. Begitu menentramkan…
Hampir setiap hari sekitar pukul 9 pagi, aku selalu melihatnya di masjid kampus melaksanakan sholat dhuha. Kemudian, saat masuk waktu sholat dhuhur, hampir tiap hari pula ku dengar suara merdunya mengumandangkan adzan. Lagi-lagi begitu menyejukkan…
Dari salah seorang temanku, akhirnya beberapa hari yang lalu akupun tau siapa namanya. Adam… Nama yang sejak saat itu terus bergema ditelingaku. Sejak saat itu pula, aku tidak berani lagi mencari tau lebih jauh tentang dia. Karena semakin aku tau, semakin hati ini bergejolak hebat. Aku takut… aku takut pada cinta semu sebelum pernikahan seperti yang dituturkan Habiburahman dalam novelnya… Ayat-Ayat Cinta…
***
Namaku Miftahul Jannah. Hampir semua orang memanggilku Miftah kecuali keempat sahabat karibku sejak SMU, Imah, Aisyah, Umar, dan Ali yang memanggilku khadijah. Heran? Awalnya akupun heran tapi pada akhirnya aku justru terharu menerima panggilan itu dari sahabat-sahabatku. Imah, gadis bertubuh tinggi, cantik dan paling suka memakai jilbab berwarna putih ini, bernama lengkap Fatimah Az-zahra. Sementara Aisyah, gadis mungil dan paling banyak hafalan qur’annya diantara kami semua memiliki nama lengkap Siti Aisyah.
Lalu, Umar al-Khatab, dia adalah kakak bagi kami semua, paling dewasa dan paling sering menjadi tempat curhat bagi yang lainnya. Si bontot dan paling muda (pasalnya waktu SMP dia ikut kelas akselarasi), Ali Abi Thalib, dia ini yang selalu mendapat IP paling tinggi diantara kami semua dan menjadi tumpuan apabila ada kami mengalami kesulitan dalam kuliah.
Perkenalan singkat dengan sahabat-sahabatku ini mungkin telah memberikan sedikit gambaran mengapa mereka memanggilku Khadijah. Diantara kami berlima cuma namaku saja yang tidak tercatat menjadi sahabat maupun istri Nabi SAW. Oleh karena itu, atas usul Ali, yang kemudian disetujui oleh ketiga sahabatku yang lain, akhirnya mereka memanggilku Khadijah, nama seorang wanita mulia yang menjadi istri pertama Rasulullah SAW.
Boleh dibilang persahabatan kami berlima memang lucu. Kami berkenalan sejak kelas satu SMU dan menjadi sangat akrab sebab kami selalu berada dalam kelas yang sama. Semboyan kami berlima adalah Amar ma’ruf nahi mungkar… mengajak kepada perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang mungkar… Telah menjadi kewajiban yang tidak tertulis bahwa kami harus saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain. Apabila salah satu dari kami menemukan suatu informasi, ilmu, pengetahuan, atau apapun yang bermanfaat maka kami wajib membagikannya kepada yang lain. Dan apabila salah satu atau salah dua (yang penting tidak salah semuanya) ada yang melakukan kesalahan maka menjadi kewajiban yang lain untuk menegur dan mengingatkan.
Begitulah kami menjalani persahabatan kami yang telah berumur hampir 4 tahun ini. Sekarang kami berlima kuliah di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Imah dan Aisyah mengambil jurusan Psikologi, Umar dan Ali mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab (Khusus Ali dia sekaligus merangkap sebagai mahasiswa jurusan Hubunagn Internasional di UGM) sementara aku sendiri mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (yang sejujurnya aku sesali akhir-akhir ini).
Karena memilih jurusan yang berbeda-beda, ditambah lagi kesibukan kami mengikuti organisasi dan kegiatan-kegiatan kampus lainnya, waktu kami untuk bersilaturahiim pun banyak berkurang. Dalam sebulan paling-paling kami hanya bisa berkumpul 3 atau 4 kali saja, itupun sering tanpa kehadiran Ali yang memiliki dua gudang kedelai eh…dua gudang kesibukan lebih banyak dari kami maksudnya…
Imah selain kuliah dan aktif di organisasi, dia juga mengajar privat anak-anak SMP untuk membiayai kuliahnya sendiri. Aisyah, di semester keduanya telah ditunjuk menjadi asisten dosen. Konon kabarnya, si dosen menaruh harapan besar padanya untuk menjadi the next Indonesian idol oh… salah… the next mawapres maksud sebenarnya. Umar, selain kuliah dia juga menjadi pengajar tidak tetep di pesantren milik pamannya. Dari hasil menjadi guru nonpermanent ini jugalah dia bisa membantu ibunya membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku MTS dan SD. Sementara untuk kuliahnya sendiri dia mendapat beasiswa. Kemudian Ali, kesibukkannya kuliah di dua universitas sekaligus dan jadwalnya mengisi majelis ta’lim sudah tidak perlu diragukan lagi.
Diantara kami berlima, mungkin akulah yang paling tidak memiliki kesibukan yang berarti. Kesibukanku di luar jam kuliah paling hanya belajar bahasa Arab secara online lewat di internet, mengikuti seminar-seminar, mengunjungi pameran-pameran dan kegiatan-kegiatan lain yang bagi keempat sahabatku hanya menjadi bagian kecil dari kesibukan mereka. Mungkin karena inilah hatiku menjadi lemah. Begitu lemahnya hingga dia dengan mudah masuk menyusup ke dalamnya.
Oh… Adam…
***
“Jazaakillaahu khairan katsiiran…”ucap Aisyah padaku saat aku menyerahkan buku yang dipesannya.”Aku ga punya waktu buat ke pameran. Untung aja aku bisa nitip buku ini sama kamu jadi bisa dapat harga yang lebih murah.”
Aku cuma membalasnya dengan senyuman. Akhir-akhir ini aku memang jadi sedikit pendiam.
“What’s wrong Khadijah? You look different…”katanya lagi sambil membuka-buka bukunya. Dia tau kalo aku paling suka berkomunikasi dengan bahasa Inggris saat aku ada masalah atau kesulitan menyampaikan perasaan.
“I don’t know… I’m confused about what I’m really confused about… I’m sad but I don’t know what has made me sad… I’m hurt but I don’t know why… I’m happy but…”aku tidak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku sendiri.
“Astaghfirullah khadijah... it heard so bad… have you told Umar about this?”wajah Aisyah tampak cemas. Sebagai mahasiswa psikologi, aku yakin dia tau kalo aku sedang… jatuh cinta…
Aku menggelengkan kepala.
“Have you been ready for a marriage?” tanyanya dengan nada yang aku tau sangat serius.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala, “I don’t know…”
***
Senja itu, kami berlima berkumpul di teras masjid kampus. Seperti sudah tidak diragukan lagi, topik bahasan kali ini bukanlah masalah tafsir al-Qur’an ataupun hadits-hadits seperti biasanya melainkan masalah falling in Love dan Marriage. Aku benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Dalam pembahasan ini, aku sedikitpun tidak merasa disudutkan oleh mereka, mereka juga tidak menghakimi aku karena telah jatuh cinta. Sebaliknya, semua hal yang kami bicarakan seolah-olah bukan ditujukan padaku melainkan ditujukan bagi kami semua.
“Jadi intinya seperti yang telah kita bahas berkali-kali bahwa menikah itu merupakan sunnah rasul SAW yang berarti juga menyempurnakan sebagian agama…” apabila diantara kita telah merasa mampu dan siap untuk membangun sebuah mahligai pernikahan yang berarti siap pula memikul semua kewajiban dan tanggungjawab yang akan muncul setelahnya maka sesungguhnya menikah itu lebih baik dari pada menangguhkannya…” tutur Umar dengan bijak.
“Hmmm… Gimana kalo kita jatuh cinta, sementara kita merasa belum siap untuk menikah?” tanyaku sedikit ragu.
“Ukh Khadijah… yakinkah bahwa yang ukhti sebut cinta itu benar-benar cinta yang sejati?” tanya Umar, suaranya terdengar bijak seperti biasanya. “Bukankah Ukhti percaya kalo cinta sejati itu adalah cinta setelah pernikahan?”, sambungnya.
Aku ragu, bahkan sangat ragu untuk menjawabnya. Aku cuma menggeleng untuk jawaban pertanyaan pertama dan mengangguk untuk jawaban kedua.
“Kalo begitu gimana caranya untuk menghilangkan perasaan yang mungkin bukan cinta sejati ini?” tanyaku galau.
“Jawabannya ada pada setiap kemurnian jiwa saat mentauhidkan-NYA, ada pada setiap keikhlasan dalam bersyukur atas segala rahmat dan kenikmatan-NYA, ada pada setiap ketulusan dzikrullah yang kita lafazhkan pada-NYA…”
Tanpa terasa airmataku menetes tanpa daya untuk menahannya. Astaghfirullah… Astaghfirullah… hatiku terus saja beristighfar.
“Allahuakbar… Allahuakbar…” dari dalam masjid muadzin telah mengumandangkan adzan pertanda waktu sholat maghrib tiba.
***
Seusai melaksanakan sholat maghrib berjama’ah dilanjutkan dengan sholat sunnah rawatib ba’diyah kemudian berdzikir dan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an, disudut masjid, Aisyah mendekatiku sambil tersenyum.
“Are you OK?” tanyanya.
“Tidak pernah sebaik ini sebelumnya.” Jawabku dengan bahasa Indonesia menandakan aku memang benar-benar baik. “Islam itu begitu indah. Kenapa aku harus susah-susah mencari keindahan lain yang belum saatnya aku rasakan?”
Sekali lagi Aisyah tersenyum.“Umar sengaja memintaku mengatakan hal ini setelah aku yakin kamu benar-benar OK. Kamu siap?”
Dahiku mengernyit. “Mengatakan apa?”
“Adam sudah menikah dan bahkan Umar sempat hadir di acara akad nikahnya dengan istrinya 6 bulan yang lalu. Istrinya sekarang sedang mengandung calon anak pertama mereka.” Kata Aisyah tampak sangat hati-hati.
Umar memang bijaksana. Dia tau kapan harus menyampaikan hal sepenting ini pada waktu yang tepat. Seandainya aku mendengar berita ini sebelum senja ini mungkin aku akan hancur tapi sekarang semuanya telah berbeda. Aku bisa mendengar berita ini dengan tersenyum dan berucap syukur Alhamdulillah. Aku memandang Aisyah, lalu Imah yang masih tampak berdiskusi dengan seorang akhwat yang sedang menanyakan sesuatu padanya, kemudian sekilas melirik Umar dan Ali yang tengah membaca buku agama. Sementara di luar, temaram senja mulai merayap perlahan memeluk bumi, seiring dengan naiknya malaikat-malaikat pagi dan turunnya malaikat-malaikat malam atas perintah Rab yang maha kuasa.
Ya Allah… syukurku yang tiada terkira karena Engkau telah menganugerahi hamba sahabat-sahabat seperti mereka…
Dalam pandanganku… merakalah wajah-wajah generasi muda muslim yang patut menjadi teladan. Mereka memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu, bekerja keras, dan beramal shalih. Tidak ada waktu tanpa ibadah. Setiap perbuatan dapat bernilai ibadah jika kita kita meniatkannya sebagai ibadah. Membina persahabatan dan persaudaraan juga merupakan ibadah. Bukankah tidak ada cinta yang lebih indah dari cinta dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang sampai unlimited orang yang saling mencintai dan menyayangi karena Allah?

0 komentar:

Posting Komentar