Pages

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Tampilkan postingan dengan label NOVEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label NOVEL. Tampilkan semua postingan

Minggu, 15 April 2012

NOVEL "SAAT TEMARAM SENJA"



SAAT TEMARAM SENJA

Allah itu pencemburu…
Begitulah yang aku baca di sebuah buku…
Dan aku takut DIA akan cemburu jikalau aku membagi cintaku padamu…
Karena aku tau kalau hatiku ini rapuh… bahkan sangat rapuh…
Kalau aku memberikan sebagian cintaku padamu…
Aku takut hati dan pikiranku akan lebih cenderung padamu…
Aku takut Allah akan cemburu dan meninggalkan aku…
Bagi-NYA…akan sama saja apakah aku mencintai-NYA atau tidak…
Karena aku sedikitpun tidak bisa memberi manfaat ataupun mudharat pada-NYA…
Tapi bagiku… kalau DIA meninggalkan aku maka hilanglah segalanya dariku…
Tak terkecuali kamu…
Senja itu, ku biarkan goresan penaku memenuhi halaman secarik kertas dengan kata-kata yang entah dari mana datangnya. Coretan-coretan itu ku tulis begitu saja tanpa rencana tanpa berpikir berlama-lama. Aku berharap dengan menulis gelora didalam hatiku bisa sedikit teredam. Entah kenapa beberapa hari terakhir ini dia terus saja berdiam di pikiranku. Dia yang begitu berkharisma, rajin beribadah, yang begitu santun, selalu murah senyum, menatapnya membuatku sampai lupa untuk menahan pandangan. Begitu menentramkan…
Hampir setiap hari sekitar pukul 9 pagi, aku selalu melihatnya di masjid kampus melaksanakan sholat dhuha. Kemudian, saat masuk waktu sholat dhuhur, hampir tiap hari pula ku dengar suara merdunya mengumandangkan adzan. Lagi-lagi begitu menyejukkan…
Dari salah seorang temanku, akhirnya beberapa hari yang lalu akupun tau siapa namanya. Adam… Nama yang sejak saat itu terus bergema ditelingaku. Sejak saat itu pula, aku tidak berani lagi mencari tau lebih jauh tentang dia. Karena semakin aku tau, semakin hati ini bergejolak hebat. Aku takut… aku takut pada cinta semu sebelum pernikahan seperti yang dituturkan Habiburahman dalam novelnya… Ayat-Ayat Cinta…
***
Namaku Miftahul Jannah. Hampir semua orang memanggilku Miftah kecuali keempat sahabat karibku sejak SMU, Imah, Aisyah, Umar, dan Ali yang memanggilku khadijah. Heran? Awalnya akupun heran tapi pada akhirnya aku justru terharu menerima panggilan itu dari sahabat-sahabatku. Imah, gadis bertubuh tinggi, cantik dan paling suka memakai jilbab berwarna putih ini, bernama lengkap Fatimah Az-zahra. Sementara Aisyah, gadis mungil dan paling banyak hafalan qur’annya diantara kami semua memiliki nama lengkap Siti Aisyah.
Lalu, Umar al-Khatab, dia adalah kakak bagi kami semua, paling dewasa dan paling sering menjadi tempat curhat bagi yang lainnya. Si bontot dan paling muda (pasalnya waktu SMP dia ikut kelas akselarasi), Ali Abi Thalib, dia ini yang selalu mendapat IP paling tinggi diantara kami semua dan menjadi tumpuan apabila ada kami mengalami kesulitan dalam kuliah.
Perkenalan singkat dengan sahabat-sahabatku ini mungkin telah memberikan sedikit gambaran mengapa mereka memanggilku Khadijah. Diantara kami berlima cuma namaku saja yang tidak tercatat menjadi sahabat maupun istri Nabi SAW. Oleh karena itu, atas usul Ali, yang kemudian disetujui oleh ketiga sahabatku yang lain, akhirnya mereka memanggilku Khadijah, nama seorang wanita mulia yang menjadi istri pertama Rasulullah SAW.
Boleh dibilang persahabatan kami berlima memang lucu. Kami berkenalan sejak kelas satu SMU dan menjadi sangat akrab sebab kami selalu berada dalam kelas yang sama. Semboyan kami berlima adalah Amar ma’ruf nahi mungkar… mengajak kepada perbuatan yang ma’ruf dan menjauhi perbuatan yang mungkar… Telah menjadi kewajiban yang tidak tertulis bahwa kami harus saling mengingatkan dan menasehati satu sama lain. Apabila salah satu dari kami menemukan suatu informasi, ilmu, pengetahuan, atau apapun yang bermanfaat maka kami wajib membagikannya kepada yang lain. Dan apabila salah satu atau salah dua (yang penting tidak salah semuanya) ada yang melakukan kesalahan maka menjadi kewajiban yang lain untuk menegur dan mengingatkan.
Begitulah kami menjalani persahabatan kami yang telah berumur hampir 4 tahun ini. Sekarang kami berlima kuliah di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta. Imah dan Aisyah mengambil jurusan Psikologi, Umar dan Ali mengambil jurusan Bahasa dan Sastra Arab (Khusus Ali dia sekaligus merangkap sebagai mahasiswa jurusan Hubunagn Internasional di UGM) sementara aku sendiri mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (yang sejujurnya aku sesali akhir-akhir ini).
Karena memilih jurusan yang berbeda-beda, ditambah lagi kesibukan kami mengikuti organisasi dan kegiatan-kegiatan kampus lainnya, waktu kami untuk bersilaturahiim pun banyak berkurang. Dalam sebulan paling-paling kami hanya bisa berkumpul 3 atau 4 kali saja, itupun sering tanpa kehadiran Ali yang memiliki dua gudang kedelai eh…dua gudang kesibukan lebih banyak dari kami maksudnya…
Imah selain kuliah dan aktif di organisasi, dia juga mengajar privat anak-anak SMP untuk membiayai kuliahnya sendiri. Aisyah, di semester keduanya telah ditunjuk menjadi asisten dosen. Konon kabarnya, si dosen menaruh harapan besar padanya untuk menjadi the next Indonesian idol oh… salah… the next mawapres maksud sebenarnya. Umar, selain kuliah dia juga menjadi pengajar tidak tetep di pesantren milik pamannya. Dari hasil menjadi guru nonpermanent ini jugalah dia bisa membantu ibunya membiayai sekolah kedua adiknya yang masih duduk di bangku MTS dan SD. Sementara untuk kuliahnya sendiri dia mendapat beasiswa. Kemudian Ali, kesibukkannya kuliah di dua universitas sekaligus dan jadwalnya mengisi majelis ta’lim sudah tidak perlu diragukan lagi.
Diantara kami berlima, mungkin akulah yang paling tidak memiliki kesibukan yang berarti. Kesibukanku di luar jam kuliah paling hanya belajar bahasa Arab secara online lewat di internet, mengikuti seminar-seminar, mengunjungi pameran-pameran dan kegiatan-kegiatan lain yang bagi keempat sahabatku hanya menjadi bagian kecil dari kesibukan mereka. Mungkin karena inilah hatiku menjadi lemah. Begitu lemahnya hingga dia dengan mudah masuk menyusup ke dalamnya.
Oh… Adam…
***
“Jazaakillaahu khairan katsiiran…”ucap Aisyah padaku saat aku menyerahkan buku yang dipesannya.”Aku ga punya waktu buat ke pameran. Untung aja aku bisa nitip buku ini sama kamu jadi bisa dapat harga yang lebih murah.”
Aku cuma membalasnya dengan senyuman. Akhir-akhir ini aku memang jadi sedikit pendiam.
“What’s wrong Khadijah? You look different…”katanya lagi sambil membuka-buka bukunya. Dia tau kalo aku paling suka berkomunikasi dengan bahasa Inggris saat aku ada masalah atau kesulitan menyampaikan perasaan.
“I don’t know… I’m confused about what I’m really confused about… I’m sad but I don’t know what has made me sad… I’m hurt but I don’t know why… I’m happy but…”aku tidak sanggup lagi melanjutkan kata-kataku sendiri.
“Astaghfirullah khadijah... it heard so bad… have you told Umar about this?”wajah Aisyah tampak cemas. Sebagai mahasiswa psikologi, aku yakin dia tau kalo aku sedang… jatuh cinta…
Aku menggelengkan kepala.
“Have you been ready for a marriage?” tanyanya dengan nada yang aku tau sangat serius.
Sekali lagi aku menggelengkan kepala, “I don’t know…”
***
Senja itu, kami berlima berkumpul di teras masjid kampus. Seperti sudah tidak diragukan lagi, topik bahasan kali ini bukanlah masalah tafsir al-Qur’an ataupun hadits-hadits seperti biasanya melainkan masalah falling in Love dan Marriage. Aku benar-benar merasa beruntung memiliki sahabat seperti mereka. Dalam pembahasan ini, aku sedikitpun tidak merasa disudutkan oleh mereka, mereka juga tidak menghakimi aku karena telah jatuh cinta. Sebaliknya, semua hal yang kami bicarakan seolah-olah bukan ditujukan padaku melainkan ditujukan bagi kami semua.
“Jadi intinya seperti yang telah kita bahas berkali-kali bahwa menikah itu merupakan sunnah rasul SAW yang berarti juga menyempurnakan sebagian agama…” apabila diantara kita telah merasa mampu dan siap untuk membangun sebuah mahligai pernikahan yang berarti siap pula memikul semua kewajiban dan tanggungjawab yang akan muncul setelahnya maka sesungguhnya menikah itu lebih baik dari pada menangguhkannya…” tutur Umar dengan bijak.
“Hmmm… Gimana kalo kita jatuh cinta, sementara kita merasa belum siap untuk menikah?” tanyaku sedikit ragu.
“Ukh Khadijah… yakinkah bahwa yang ukhti sebut cinta itu benar-benar cinta yang sejati?” tanya Umar, suaranya terdengar bijak seperti biasanya. “Bukankah Ukhti percaya kalo cinta sejati itu adalah cinta setelah pernikahan?”, sambungnya.
Aku ragu, bahkan sangat ragu untuk menjawabnya. Aku cuma menggeleng untuk jawaban pertanyaan pertama dan mengangguk untuk jawaban kedua.
“Kalo begitu gimana caranya untuk menghilangkan perasaan yang mungkin bukan cinta sejati ini?” tanyaku galau.
“Jawabannya ada pada setiap kemurnian jiwa saat mentauhidkan-NYA, ada pada setiap keikhlasan dalam bersyukur atas segala rahmat dan kenikmatan-NYA, ada pada setiap ketulusan dzikrullah yang kita lafazhkan pada-NYA…”
Tanpa terasa airmataku menetes tanpa daya untuk menahannya. Astaghfirullah… Astaghfirullah… hatiku terus saja beristighfar.
“Allahuakbar… Allahuakbar…” dari dalam masjid muadzin telah mengumandangkan adzan pertanda waktu sholat maghrib tiba.
***
Seusai melaksanakan sholat maghrib berjama’ah dilanjutkan dengan sholat sunnah rawatib ba’diyah kemudian berdzikir dan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an, disudut masjid, Aisyah mendekatiku sambil tersenyum.
“Are you OK?” tanyanya.
“Tidak pernah sebaik ini sebelumnya.” Jawabku dengan bahasa Indonesia menandakan aku memang benar-benar baik. “Islam itu begitu indah. Kenapa aku harus susah-susah mencari keindahan lain yang belum saatnya aku rasakan?”
Sekali lagi Aisyah tersenyum.“Umar sengaja memintaku mengatakan hal ini setelah aku yakin kamu benar-benar OK. Kamu siap?”
Dahiku mengernyit. “Mengatakan apa?”
“Adam sudah menikah dan bahkan Umar sempat hadir di acara akad nikahnya dengan istrinya 6 bulan yang lalu. Istrinya sekarang sedang mengandung calon anak pertama mereka.” Kata Aisyah tampak sangat hati-hati.
Umar memang bijaksana. Dia tau kapan harus menyampaikan hal sepenting ini pada waktu yang tepat. Seandainya aku mendengar berita ini sebelum senja ini mungkin aku akan hancur tapi sekarang semuanya telah berbeda. Aku bisa mendengar berita ini dengan tersenyum dan berucap syukur Alhamdulillah. Aku memandang Aisyah, lalu Imah yang masih tampak berdiskusi dengan seorang akhwat yang sedang menanyakan sesuatu padanya, kemudian sekilas melirik Umar dan Ali yang tengah membaca buku agama. Sementara di luar, temaram senja mulai merayap perlahan memeluk bumi, seiring dengan naiknya malaikat-malaikat pagi dan turunnya malaikat-malaikat malam atas perintah Rab yang maha kuasa.
Ya Allah… syukurku yang tiada terkira karena Engkau telah menganugerahi hamba sahabat-sahabat seperti mereka…
Dalam pandanganku… merakalah wajah-wajah generasi muda muslim yang patut menjadi teladan. Mereka memanfaatkan masa muda dengan sebaik-baiknya untuk menuntut ilmu, bekerja keras, dan beramal shalih. Tidak ada waktu tanpa ibadah. Setiap perbuatan dapat bernilai ibadah jika kita kita meniatkannya sebagai ibadah. Membina persahabatan dan persaudaraan juga merupakan ibadah. Bukankah tidak ada cinta yang lebih indah dari cinta dua orang, tiga orang, empat orang, lima orang sampai unlimited orang yang saling mencintai dan menyayangi karena Allah?

NOVEL "Masihkah Bintang di Jogja"

Masihkah Bintang di Jogja

Malam itu, seperti malam-malam biasanya. Langit kota Jogja tampak muram, berkabut dan hanya terlihat beberapa bintang yang sesekali menghilang di balik awan. Sungguh malang kota Jogja. Batinku. Bagaimana tidak? Ditengah hingar bingar hiburan malam, gemerlap lampu di jalan-jalan, dan kemegahan konser musik yang datang silih berganti, ada satu kemirisan. Langit kota Jogja sepi, seakan hampir mati. Asap-asap pabrik dan kendaraan bermotor yang tak terhitung jumlahnya telah membuat langit Jogja tertutup kabut. Membuatnya selalu tampak mendung. Murung. Dan menghalangi gemerlap cahaya bintang yang semestinya jadi teman sejati malam.

Sungguh jauh berbeda dengan keadaan di desaku. Saat malam tiba, langit tampak begitu cerah, jutaan bahkan milyaran bintang bersinar begitu terang. Langit laksana hamparan permadani hitam dengan hiasan manik-manik bintang. Memang tak ada konser musik disana. Tak ada bioskop apalagi mall-mall megah yang buka sampai larut malam. Tapi disana juga tidak ada asap-asap hitam yang berasal dari pabrik dan ribuan kendaraan bermotor yang bisa mengotori langit malam. Disana kita bisa memandangi bintang-bintang di langit sepanjang malam, sebanyak yang kita inginkan. Aku merindukan bintang. Aku merindukan kampung halamanku yang tenang dan nyaman.

***

Al-qur’an menjelaskan bahwa sejatinya bintang-bintang diciptakan untuk tiga tujuan. Sebagai hiasan langit, sebagai penunjuk arah dan sebagai penjaga langit atau pelempar bagi syaitan-syaitan apabila mereka hendak mencoba mencuri dengar. Seiring perkembangan zaman yang semakin modern, manusia telah menciptakan sendiri satu fungsi tambahan bintang yaitu sebagai alat untuk meramal. Astrologi. Begitu ilmu meramal dengan menggunakan bintang yang didasarkan pada tanggal lahir itu biasa disebut. Akan tetapi, patutkah seorang muslim yang menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidupnya mempercayai astrologi?

“Bin....Bintang....”panggil salah seorang teman kosku.

Belum lagi aku menyelesaikan satu paragraf artikelku, Dina mengetuk pintu kamarku. Akupun segera beranjak dan membuka pintu.

”Ada apa?”tanyaku singkat.

”Ada temen kamu tuh nyariin. Dia masih nunggu di depan. Belum aku suruh masuk”

“Cowok atau cewek?”

“Cowok...”

“Tolong bilangin aja kalo aku ga bisa menerima tamu cowok malem-malem..”

”Serius neh?”tanyanya meyakinkan.

”he-eh...”aku mengangguk

Dina pun pergi menemui cowok tadi. Samar-samar ku dengar teman cowokku itu protes padanya.

”Emang Bintang lagi ngapain sih? Sibuk ya? Sampe-sampe mau bertamu aja ditolak? Dasar cewek sombong.”gerutunya.

Aku kembali menutup pintu kamarku dan mencoba melanjutkan mengetik artikel yang tadi sedang aku ketik.

”Ah....”rasanya aku sudah tidak ada mood lagi untuk menulis.

Ku putuskan untuk keluar kamar dan duduk-duduk di balkon lantai atas kosku. Dari sana aku bisa memandang langit dengan leluasa. Meskipun langit kota Jogja tak seindah langit di desaku, tapi hobiku untuk memandang langit tak berkurang sedikitpun disini. Memandang langit malam adalah hiburan kota Jogja yang paling aku sukai. Selain karena memang murah meriah alias gratis, bagiku memandang langit dan ciptaan ALLah yang lain menumbuhkan perenungan yang mendalam.

Sudah 4 tahun lebih aku berada di Jogja. Studi S1-ku selangkah lagi selesai. Tinggal menunggu wisuda saja. Melihat prestasiku yang cukup baik di universitas, beberapa dosen telah menawariku pekerjaan. Cukup menggiurkan. Tapi, ada satu kecenderungan hatiku yang meminta aku pulang ke kampung halaman. Jauh di seberang samudera sana. Di sebuah desa kecil dimana aku bisa dengan puas memandang bintang-bintang yang terhampar di langit malam. Aku ingin mengabdi untuk masyarakat di sana. Masyarakat yang miskin tekhnologi, miskin ilmu pengetahuan, tapi kaya hati, kaya dengan alam dan kaya dengan bintang-bintang.

Aku tidak tau apakah aku akan kembali lagi ke Jogja suatu hari nanti. Kalaupun aku kembali, aku berharap ada suatu perubahan besar di Jogja. Perubahan yang membawa Jogja menjadi lebih baik, lebih indah, lebih nyaman untuk ditinggali dan lebih dirindukan oleh orang-orang yang pernah tinggal disana. Dan semoga bintang-bintang yang terhalang oleh kabut hitam akan segera menampakan cahayanya. Menghiasi langit malam Jogja dan menjadi hiburan paling indah dan paling murah bagi anak-anak kos seantero kota.

Look at the stars
Look how the shine for u
and everything U do
yeah, they were all yellow

Lirih, ku senandungkan lagu “yellow”nya coldplay.

***

NOVEL "PENYESALAN IBU"



PENYESALAN IBU

Hari demi hari selalu begini, keluh Sutikno dalam hati. Tiap kali ia datang berkunjung ke rumah Ratini, ibu kandungnya. Memang akhir – akhir ini Ratini sering stres dan sakit–sakitan. Ratini memiliki empat orang anak. Anak pertamanya bernama Suratmi, anak kedua bernama Sutikno, anak ketiga bernama Neni dan anak yang paling bungsu yaitu Karsi.
Enam tahun yang lalu suami Ibu Ratini meninggal dunia saat berusia 77 tahun. Beliau mempercayakan semua harta peninggalannya dikelola oleh istrinya. Dan suaminya berharap istrinya itu kelak dapat membagikan harta warisan itu dengan adil pada anak–anaknya. Harta warisan itu diantaranya delapan hektar sawah, dua buah rumah ukuran sedang yang terletak di sebuah perkampungan, dua hektar kebun singkong dan kurang lebih lima belas ekor ternak ayam kesenangan suaminya.
Sutikno adalah anak laki–Laki satu–satunya dalam keluarga itu. Dan Suratmi adalah kakak Sutikno yang telah menikah dengan Tomo, lelaki asli Jogja yang bekerja di pabrik semen di Cilacap. Dan ia beragama Katolik. Karena menikah dengannya, Suratmi pun berganti agama. Yang awalnya beragama Islam, kini ia beragama Katolik. Peristiwa itu merupakan salah satu awal dari perubahan sikap Ibu yang dulu sangat bijaksana, kini menjadi sering stres, sakit-sakitan dan mudah marah. Sebenarnya dulu Ibu tidak setuju dengan pernikahan mereka. Namun apa boleh buat, karena sudah saking cintanya, dengan terpaksa dan sangat menyesal, akhirnya Ibu menyetujui pernikahan mereka. Mereka hidup bahagia dengan rumah sendiri dari hasil kerja Tomo, dan mereka memiliki empat orang anak. Sedangkan Sutikno, ia juga sudah beristrikan Lasmini. Mereka juga hidup bahagia karena dikaruniai dua orang anak, Nesa dan Hady, yang kini telah tumbuh menjadi remaja yang rajin dan pandai. Sedangkan Neni adalah adik perempuan Suratmi dan Sutikno yang dahulu ia dilahirkan dalam keadaan cacat tubuh, Ia lumpuh hingga saat ini. Dan kini tinggal bersama Ibunya di rumah peninggalan sang ayah. Karsi adalah anak yang terakhir dalam keluarga itu. Ia dilahirkan dengan sempurna. Namun setelah tumbuh dewasa dan ia telah menikah, akhirnya di pernikahannya yang pertama itu gagal. Dan Karsi kemudian menikah lagi dengan orang keturunan cina, yang akhirnya pernikahannya juga gagal lagi. Dan dipernikahannya yang ketiga ini, ia berusaha menjaga hubungan sebaik-baiknya meskipun sudah lama menikah belum juga dikaruniai anak.
Dari keempat bersaudara itu, Karsi sangat dikenal sebagai anak yang sangat bandel, mursal, sering ganti-ganti pasangan, menikah beberapa kali dan ia sangat rakus dan serakah terhadap harta orang tuanya. Ia selalu mengganggu kehidupan kakak-kakaknya dan selalu membuat stres ibunya dengan ulahnya yang selalu menuntut agar semua harta warisan dapat jatuh pada dirinya. Karsi mengancam Ibunya, hingga Ibunya ketakutan dan sering sakit-sakitan.
Suatu hari, ketika Sutikno dan Lasmini, istrinya, berkunjung ke rumah Ibunya, tak disangka ia mendapati tatapan yang kecut. Bahkan matanya tak bersahabat dengan Tikno dan istrinya.
“ Sepertinya ..., Ibu sedang ada masalah, Mas”. Kata Lasmini.
“ Ia, ini mungkin ulah dik Karsi lagi seperti biasanya”. Jawab Tikno dengan berbisik.
  Dengan penuh kesabaran, Lasmini mendekati Ibu. Tapi Ibu tak menggubris sama sekali. Dan tatapan Ibu berpaling pada sebuah taman yang ada di halaman depan rumah.
“ Ini Bu, saya bawakan buah apel untuk ibu, dan ada juga buah melon kesukaan Ibu”. Kata Lasmini dengan halus.
Ibu terdiam dan tanpa kata sedikitpun.
“ Ibu sehat-sehat saja kan ? Tanya Lasmini.
Ibu hanya mengangguk. Beliau tak mau bersuara.
Tikno mulai berbicara pada Ibu dengan nada pelan. “ Bu, semalam mbak Suratmi menelpon saya. Dalam percakapan kami, mbak Suratmi sempat ngomong kalau beberapa hari yang lalu dik Karsi datang ke tempat Ibu dan dia membuat gaduh di rumah ini serta membentak-bentak Ibu agar ibu menyerahkan harta warisan ayah pada dik Karsi semuanya.
Apa benar begitu, Bu ? Tanya Tikno.
Ibu mulai berbicara pelan.
Ya, adikmu semalam ke sini. Dia membuat gaduh, mengamuk, memecahkan kaca almari dan mengancam Ibu. Ibu tak bisa berbuat apa-apa selain takut. Tenaga Ibu mulai melemah dan Ibu kini tinggal pasrah, menangis karena ulah adikmu itu”. Kata Ibu sambil tersedu.
“ Ibu tak mungkin bisa menyerahkan harta warisan ayahmu ini semuanya pada Karsi. Ibu sudah di pesan sama ayahmu agar Ibu bisa adil membagi harta warisan ini”. Tambah Ibu dengan tak kuat menahan sedihnya”.
 “ Bedebah ..., memang Karsi tak bisa dibiarkan seperti ini terus. Ibu masih hidup saja sudah mengungki-ungkit masalah harta warisan. Bagaimana kalau Ibu meninggal nanti ?” Gerutu Sutikno sambil mengepalkan tangan kanannya dan menghantam meja.
Tak lama kemudian, Lasmini berusaha menenteramkan suasana. Ia membuatkan teh hangat lalu disajikan untuk Ibu mertuanya dan untuk Sutikno, suaminya. Setelah suasana agak mereda dan telah mendengar semua cerita Ibu tentang dik Karsi, Tikno berusaha membesarkan hati Ibunya dan ia menyuruh Ibunya untuk beristirahat agar pikirannya tenang. Sambil memapah Ibu yang kian renta, Sutikno dan istrinya juga berpamitan untuk pulang.
Beberapa minggu telah berlalu, keadaan Ibu semakin membaik. Ibu memiliki rencana untuk mengumpulkan anak-anaknya untuk membicarakan harta warisan peninggalan ayahnya. Mengingat Ibu semakin renta dan beliau tak mau pusing-pusing memikirkan hal itu. Dan akhirnya, sebuah musyawarah telah terlaksana di rumah Ibu. Semua anaknya hadir, termasuk Karsi yang datang dengan wajah berseri-seri dan sangat mengharapkan harta tersebut.
Dalam musyawarah itu, Ibu berbicara dan selang beberapa menit Ibu memutuskan untuk memberikan dua hektar kebun singkong untuk Karsi. Semua itu dimaksudkan supaya Karsi tidak berbuat ulah lagi dan selalu menyakiti perasaan Ibu. Semuanya terdiam, namun beda, Karsi tersenyum puas dan merasa ia telah memperoleh sebagian harta warisan itu. Suratmi dan Sutikno juga setuju dengan pendapat Ibu. Mereka sebagai kakak lebih berpengalaman dalam berumah tangga dan bisa berpikir dewasa.
“Yang penting Ibu aman dari ancaman dik Karsi”. Bisik Tikno pada Suratmi. Sedangkan Neni hanya terdiam menyaksikan musyawarah itu karena keterbatasan cacat fisik dan mentalnya. Semuanya bisa memaklumi.
“ Terima kasih, Bu” kata Karsi sambil tertawa girang. Seakan dia puas dengan dua hektar kebun singkong itu.
Musyawarah belum dibubarkan, dan saat itu pula Karsi sempat berbicara lantang pada Ibu hingga Ibu menangis.
Ia berkata,” Bu, saya lihat usia Ibu sudah renta, Ibu semakin tua dan semakin tak berdaya pula. Dan saya yakin, Ibu tak akan mampu merawat dik Neni yang cacat itu. Saya menyarankan supaya Ibu tinggal di panti jompo saja, dan dik Neni dititipkan di panti asuhan. Semua itu akan meringankan beban Ibu. Ibu akan terawat di sana. Saya juga melihat bahwa mas Sutikno dan istrinya juga sibuk kerja. Sedangkan mbak Suratmi dan suaminya juga sibuk kerja. Jadi kalau Ibu ikut dengan mereka pasti akan sangat merepotkan”.
Ibu menangis histeris dan segera mengusir Karsi.
“ Pergi kau dari sini Karsi, Ibu tak ingin melihat mukamu lagi. Dasar anak durhaka, anak tak tahu diuntung. Malah sekarang mau menyia-nyiakan Ibu” Usir Ibu pada Karsi sambil teriak. Sampai para tetangga mendengar teriakan Ibu.
“ Ibu menyesal melahirkan kamu. Ibu yakin, kelak kamu akan masuk neraka”. Tambah Ibu.
“ Kami akan tetap menjaga Ibu sampai kapanpun”. Kata tikno dan Suratmi. Mereka lebih peduli dengan Ibu.
Ibu sempat bertanya pada Suratmi, Sutikno dan Neni. “ Apakan kalian setuju jika Ibu dititipkan di panti jompo ?
Kami tidak tega, Bu.” Kata Tikno mewakili mbak Suratmi dan Neni.
Begini saja Bu, lebih baik Ibu tinggal bersama saya saja. Tetapi nanti kalau saya dan istri saya bekerja, Ibu akan saya titipkan sama mbok Sumi di rumah. Mbok Sumi orangnya sangat baik. Dia sudah hampir sembilan tahun bekerja di rumah saya sejak anak-anak saya masih bayi hingga saat ini. Dan nanti kalau Ibu bosan di rumah saya, ibu bisa minta antar jalan-jalan dengan sopir saya yang sudah saya siapkan untuk Ibu, atau Ibu bisa minta diantar main ke tempat mbak Suratmi. Bukan begitu mbak ? Tanya Tikno pada mbak Suratmi untuk lebih menenangkan hati Ibu. Dan nanti dik Neni bisa memilih akan tinggal bersama keluarga saya atau memilih tinggal dengan keluarga mbak Suratmi. “ Jelas Tikno panjang lebar dan sabar’.
Setelah lama merenung, Ibu akhirnya menerima tawaran Sutikno tadi. Beliau mau tinggal dengan Tikno, dan Neni tinggal dengan Suratmi.
Setelah beberapa hari Ibu tinggal dengan Tikno. Hari kesembilan Tikno dikejutkan oleh Ibu yang tiba-tiba menghilang. Tikno sekeluarga kebingungan dan segera telpon mengabari mbak Suratmi kalau Ibu pergi menghilang. Kamarnya kosong dan semua pakaian di almarinya juga kosong. Keluarga Sutikno dan keluarga Suratmi berpencar untuk mencari keberadaan Ibu. Sudah dua minggu Ibu tak juga ketemu. Mereka semua panik hingga tak bisa tidur. Mereka semua mengkhawatirkan kesehatan Ibu dan fisiknya yang sudah mulai melemah.
Suatu hari, saat Tikno akan berangkat ke kantor, tiba-tiba telpon rumahnya berdering. Dan Tikno segera mengangkat telpon itu.
“ Halo, bisa bicara dengan bapak Sutikno ?”
“ Ya, saya sendiri.”
“ Ini pak, kami dari panti jompo yayasan Tunas Melati. Kami akan memberitahukan bahwa orang tua bapak yang bernama Ibu Ratini kini ada dan tinggal bersama kami di panti ini. Namun kini keadaannya sedang sakit. Dan semalam beliau diperiksakan ke rumah sakit Tiara Pelita oleh pihak panti jompo. Dan sekarang kami mohon kedatangan bapak beserta keluaga untuk menjenguk Ibu. Karena setiap hari Ibu Ratini hanya mengigau terus dan menyebut-nyebut nama Bapak Sutikno “.
“ Baiklah, terimakasih atas informasinya. Kami sekeluarga segera datang ke sana.”
“ Baiklah Pak, kami tunggu kedatangannya.”
Tak lama kemudian, Tikno beserta keluarga dan juga mbak Suratmi dan keluarga datang ke panti jompo yayasan Tunas Melati. Mereka sedih melihat kondisi Ibu yang terbaring sangat lemas sekali. Tikno segera menghampiri Ibu.
“ Ibu, kenapa tiba-tiba Ibu menghilang dari rumah. Saya sudah bilang, kalau Ibu butuh apa-apa bisa minta tolong antar sama sopir saya.” Kata Tikno.
“ Saya sudah tak membutuhkan bantuan kalian, Ibu rasa semakin Ibu tua, Ibu hanya semakin merepotkan anak-anak Ibu. Dan malam itu Ibu tak bisa tidur, kemudian Ibu memutuskan untuk pergi dari rumahmu dan tujuan Ibu hanya ke panti jompo ini” Jawab Ibu”.
 Mereka semua terdiam, emosi Ibu pun semakin memuncak karena tiba-tiba Ibu ingat dengan Karsi. Tikno dan Suratmi membujuk Ibu agar mau pulang ke rumah . Tapi Ibu tetap tidak bisa. Selain beliau sudah kecewa dengan Suratmi yang dulu pernah pindah agama, ditambah lagi dengan Karsi yang selalu membuat Ibu stes, kecewa dan menyesal kemudian Ibu memutuskan untuk tetap di panti jompo itu.
“ Sekarang kalian pergi saja jauh-jauh dari Ibu. Ibu sedang ingin sendiri. Dan jangan sekali-kali bujuk Ibu untuk pulang ke rumah. Ibu sudah merasa senang dan tentram di sini”. Kata Ibu.
Suratmi dan Sutikno sudah tidak bisa apa-apa lagi kalau itu sudah keinginan Ibu dan tak bisa di cegah lagi. Mereka segera pulang dan mereka hanya bisa mendo’akan Ibu agar Ibu sehat selalu.
“ Baiklah, kalau itu permintaan Ibu. Kami mohon pamit dulu. Kami akan sering-sering ke sini menjenguk Ibu. Kami semua tetap sayang dengan Ibu”. Pamit Suratmi pada Ibunya.”
Mereka semua segera pulang. Dan setengah jam dalam perjalanan, tiba-tiba handphone Tikno berdering. Setelah diangkat ternyata telpon dari panti jompo yang mengabarkan kalau Ibu pingsan dan keadaannya tiba-tiba kritis. Mereka semua segera membalik ke panti jompo lagi. Sesampainya di sana ternyata penyakit jantung Ibu kambuh. Ibu hanya bisa berbicara sedikit pada anak-anaknya tanpa dihadiri Karsi si anak durhaka Itu.
“ Tikno, Ratmi, Neni, Tomo, Lasmini anak-anakku dan menantuku serta cucu-cucu semuanya. Eyang minta maaf kalau selama ini eyang banyak salah dengan kalian dan selalu merepotkan kalian. Kini usia eyang tak panjang lagi, Setelah kalian meninggalkan panti ini tadi, tiba-tiba jantung eyang kambuh. Eyang tak bisa berbuat apa-apa lagi.” Kata Bu Ratini dengan suara pelan.
“ Dan kamu Tikno. Kamu anak laki-laki satu-satunya, Ibu percaya sama kamu. Kamu bisa menjaga kakak dan adik-adikmu kelak. Ibu pesan supaya kalau Ibu meninggal, kamu bisa memimpin pembagian harta warisan yang ayah dan Ibumu tinggalkan dengan adil. Dan jangan sampai adikmu Karsi menguasai segalanya. Perlu kalian tahu anak-anakku, Ibu merasa sangat menyesal sekali dengan sikap Karsi. Dengan napas yang tergopoh-gopoh ini Ibu mohon do’a kalian semua dan maafkan semua kesalahan Ibu selama ini”. Pesan Ibu pada semuanya, saat sakaratul maut itu terjadi.
Keadaan di kamar Ibu semakin tegang. Mereka takut akan kondisi Ibu yang semakin buruk, hingga kata-katanya seperti kata-kata orang yang pamitan sebagai firasat bahwa Ibu akan meninggal.
Tiba-tiba Ibu tersedak dan nafasnya mulai tersengal-sengal. Dengan dituntun berbagai dzikir dan ucapan-ucapan kalimat Allah oleh Tikno di dekat telinga Ibu. Dan Ibu mulai bisa mengikuti kata-kata itu, kemudian perlahan Ibu memejamkan mata dan meninggal, pergi meninggalkan kita untuk selamanya. Ibu Ratini meninggal dunia dengan perasaan sangat menyesal. Dan hanya do’a yang selalu teriring dari anak-anaknya, semua menantunya dan semua cucu-cucunya. Semoga segala amal baik Beliau diterima disisi Allah Subhanahuwata’ala.








BIOGRAFI PENULIS

            Isya Rahmahwati, lahir di Yogyakarta 16 Agustus 1989. Menyelesaikan studinya SD di Madrasah Ibtidaiyah Negeri II Yogyakarta, SMP Negeri 1 Pleret Bantul Yogyakarta, SMA di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta II. Saat ini sedang menempuh S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan tepatnya semester IV.
            Beberapa karya sastra telah ditulisnya. Diantaranya cerpen, puisi, dan artikel. Beberapa karya sastranya telah dikirimkan di media massa. Kali ini Isya Rahmahwati telah memiliki kesempatan untuk menulis cerpen yang akhirnya selesai juga tepat pada waktunya, dan cerpen tersebut berjudul “ Penyesalan Ibu” yang ditulisnya guna memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Fiksi. Semua hasil karyanya ditulis berdasarkan inspirasi dan ada pula yang berdasarkan pengalaman pribadi.
            Sebelum kegemarannya menulis timbul, sewaktu duduk di bangku SMA Isya Rahmahwati bergabung di kelompok mading dan di sanalah ia mendapatkan sedikit ilmu tentang tulis-menulis yang kemudian dikembangkannya melalui menulis puisi, cerpen dan artikel. Judul puisi yang pernah ditulisnya antara lain berjudul Khayalan, Realita Cinta, Langit Jingga dan masih banyak lagi puisi yang lainnya. Sedangkan Cerpen yang pernah ditulisnya diantaranya berjudul Kanangan Lebaran dan cerpen yang kedua berjudul Penyesalan Ibu. Cita-cita Isya Rahmahwati yaitu menjadi pengajar/guru yang teladan yang dapat mengubah bangsa Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya.










NOVEL "KUE PUTU MANIS"

KUE PUTU MANIS

            Sang pagi telah membuka mata. Dinginnya malam telah usai. Dan aku pun telah terbangun dari tidurku. Bersamaan dengan suara Ibu dari ruang tengah yang telah menyapaku dipagi hari.
“Kok lemas, nduk? kamu sakit?” tanya Ibu pada anak perempuannya yang bernama Erlita.
Lita tak menghiraukan sapaan Ibu. Ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Ibu. Sembari ia menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, Lita si gadis cantik berumur 13 tahun itu duduk di ruang tamu, tepatnya di kursi paling dekat dengan jendela yang bertirai hijau muda. Sambil menengok ke luar, seakan-akan mata Lita tertuju pada jalan yang ada di depan rumahnya. Sepertinya ia sedang menunggu seseorang.
            “Pagi Lita, sedang menunggu apa kamu, kok melamun di situ?” tanya Indah kakak perempuannya.
            “Ehemmm ... aku tahu. Pasti kamu sedang menunggu mas Minto si penjual kue putu itu ya?” Sebenarnya sedang menuggu mas Minto atau menunggu kue putunya? Hayooo ...” Ledek Indah pada Lita.
            Lita hanya diam dan cemberut mendengar ejekan dari kakaknya itu. Dan pagi itu, sudah hampir dua jam Lita duduk di kursi itu untuk menunggu mas Minto si penjual kue putu kesukaannya. Lita sangat suka dengan kue putu itu karena menurutnya sangat enak dan manis sekali kue itu. Selain itu, penjualnya yang bernama mas Minto itu orangnya juga sangat ramah. Hampir setiap hari Lita membeli kue putu manis.
            Sambil melamun, bahkan terkadang mengintip lewat kaca jendela apakah mas Minto sudah datang apa belum, membuat hati Lita resah. Tiba-tiba Ibunya memanggilnya,” Lita, kamu ini bocah wedhok sudah siang begini kok belum mandi, belum sarapan juga. Mau kamu apa Lita?” anak perawan kok jam 11.00 siang masih kusut begitu, nongkrong di ruang tamu lagi.”
            Lita tetap diam sambil bertopang dagu.
Ibunya dan kakaknya yang bernama Indah bingung. Mereka sebenarnya tahu kalau Lita sedang menunggu mas Minto penjual kue putu manis favoritnya yang tak kunjung datang. Karena Ibu saking sayangnya dengan Lita, kemudian Ibu menyuruh Indah untuk membelikan kue putu manis di warung Bu Slamet yang terletak di samping rumahnya. Tapi Lita tetap tak mau memakannya. Ia hanya ingin kue putu  manisnya mas Minto.
            “Kue putu dari warung Bu Slamet rasanya kurang manis, ukurannya kecil-kecil dan taburan kelapa parutnya kurang banyak, pokoknya nggak ada yang bisa menandingi kue putu manis buatan mas Minto deh.” Kata Lita sambil bernada manja pada kakaknya.
            “Ya sudah, kalau tidak mau makan kue putu itu. Ibu akan membuatkan kue putu khusus buat kamu Lita”. Kata Ibu bijaksana.
 Sebenarnya Ibu tidak tega melihat Lita terdiam hanya menunggu kue putunya mas Minto yang sering dibelinya setiap hari. Ibu juga tahu, Lita sangat suka dengan kue putu, bahkan kalau sudah membeli kue putu manis buatannya mas Minto, ia bisa menghabiskan antara lima sampai enam potong kue putu. Baru saja Ibu beranjak hendak ke dapur untuk membuatkan kue putu untuk Lita, tiba-tiba terdengar dengung khas penjual kue putu. Lita yakin bahwa itu mas Minto, yang sambil memikul dagangannya si Minto penjual kue putu manis itu pun meneriakkan dagangannya berulang-ulang.
            “Putu ... putu ... kue putu manis, kue putuuuu ....”
Lita langsung keluar rumah dan memanggil mas Minto untuk membeli kue putu manis dagangannya.
            “Mas Minto, beli kue putunya”. Teriak Lita.
Mas Minto langsung menuju ke arah Lita.
            “Eh, neng Lita. Mau beli neng?”
            “Iya mas Lita mau beli”.
            “Berapa? Tanya mas Minto pada Lita
            “Biasa mas, Rp 5000 saja.”
            “Ok, ditunggu ya neng.”
Sambil nunggu kue putu matang, Lita pun berbincang-bincang dengan mas Minto.
            “Tumben mas, jam 12. 00 siang baru nongol. Biasanya jam 08.00 pagi udah keliling. Lita kan jadi nunggu lama banget. Mas kan udah tahu kalau Lita suka banget dengan kue putu manis buatan mas Minto, abis ..., kue putunya empuk sih, manisnya juga pas menurut Lita. Pakai telat segala datangnya.” 
            “Adung neng Lita, maaf mas telat datangnya. Soalnya tadi pagi agak nggak enak badan, jadi berangkatnya ya siang saja.”
            “O, begitu. Memangnya mas Minto sakit apa?” Tanya Lita.
            “Ah, nggak apa-apa kok neng, cuma agak pusing saja kepalanya.” Jawab Minto.
            “Tapi sekarang sudah sembuh kan mas? Jadi besok nggak bakalan telat lagi jualannya.” Tanya Lita pada Mas Minto sambil ketawa kecil dan sambil membayarkan uang Rp 5000 untuk membayar kue putu.
            “Memang sih mas, kalau lagi awal-awal musim hujan seperti ini banyak orang yang terserang penyakit, demam berdarah pun sekarang juga lagi meraja lela. Makanya jaga kesehatan mas.” Kata Lita yang sok menasihati.
Setelah kue putu manisnya matang, Lita segera masuk ruma.
            “Terima kasih mas, lain waktu jangan telat lagi ya datangnya”. He ... he ... he
            “Ternyata beli Rp 5000 saja sudah dapat banyak kuenya”. Gumam Lita.
Indah pun ikut menikmati kue putu manis itu, tapi hanya mencicipi sedikit saja. Menurut Indah kue putu itu terlalu manis. Setelah makan sedikit, Indah langsung berangkat kuliah.
            Karena saking sukanya dengan kue putu dan semua kue itu Lita yang menghabiskannya. Kemudian baru Lita mau mandi, karena sedari pagi ia belum mandi.
            Empat jam sudah berlalu, tiba-tiba perut Lita terasa mual dan ingin muntah. Lita segera ke kamar mandi. Sang Ibu mendapatinya dalam keadaan Lita yang sudah pucat lemas dan akhirnya Lita pingsan. Tidak berlama-lama Ibunya langsung membawa Lita ke rumah sakit swasta dengan mobil. Tak ada yang membantu Ibu membopong Lita yang telah lemas pingsan itu. Karena ayahnya telah meninggal dunia dua tahun yang lalu ketika Lita berumur 11 tahun. Ayahnya meninggal dunia karena penyakit Diabetes Millitus dan karena penyakit jantung yang sudah kronis.
            Setelah sampai di rumah sakit, Lita langsung dirawat di UGD dan ia diinfus. Ibu segera mengabari Indah kalau Lita sakit dan kini dirawat di rumah sakit swasta yang berdekatan dengan kampus Indah. Tak lama kemudian, Indah sampai di rumah sakit itu. Ia langsung memeluk erat tubuh mungil Lita yang masih pingsan. Kemudian, secepatnya mereka berdua menuju ke ruang dokter yang memeriksa Lita tadi. Dokter menjelaskan bahwa Lita terserang Diabetes Millitus dan jantungnya lemah. Jadi Lita kalau merasa capek pasti nafasnya tersengal-sengal.
            Indah dan Ibu sangat terharu mendengar kabar itu. Ternyata penyakit itu menurun dari ayahnya. Dokter menyarankan agar Lita kalau sudah siuman nanti bisa rawat jalan saja, dan saran dokter jangan sampai Lita terlalu capek, serata disarankan agar Lita jangan makan makanan yang manis-manis atau yang terlalu mengandung kadar gula yang sangat tinggi. Hal itu bisa memperparah Diabetes Millitus Lita. Termasuk melarangnya membeli kue putu manis kesukaannya. Jika kambuh, jantung akan berdebar-debar dan tersa sesak nafas.
            Hari berikutnya, Lita siuman dan diperbolehkan pulang ke rumah. Indah sengaja berangkat kuliah agak siangan untuk membujuk Lita agar tidak membeli kue putu manis mas Minto. Awalnya Lita menuruti nasihat Ibu dan kakaknya itu. Tapi setiap pagi secara diam-diam ternyata Lita memesan kue putu manis lewat jendela kamarnya. Hal itu tidak diketahui oleh Ibu dan kakaknya. Sekitar empat hari lamanya ternyata Lita melakukan hal itu. Dan hari kelima, Ibu mendapati wajah Lita yang pucat seperti dulu lagi. Setelah ditanya Ibu, Lita tak menjawab. Tiba-tiba Ia jatuh pingsan lagi. Ibu membopongnya masuk ke kamar Lita. Di sana Ibu menemukan bungkus kue Putu manis.
            “Ternyata selama empat hari ini Lita telah membuhongiku.” Gumam Ibu.
Dua hari Lita tak sadarkan diri.
            Sudah dua hari itu juga Lita tak membeli kue putu manis mas Minto. Mas Minto pun terheran-heran. Dia sempat mendengar kalau Lita sakit. Tapi setiap ia tanya ke orang-orang, jawabnya hanya Lita lagi sakit masuk angin.
            “Bu Indah pamit keluar dulu. Nanti balik lagi.” Pamit Indah pada Ibunya.
            “Mau kemana kamu, nak ?tanya Ibu.
            “Saya harus ke rumah mas Minto, Bu. Menanyakan apa benar dia tak tahu apa-apa tentang penyakit Lita?
            “Ya sudah, cepat sana.” Pinta Ibu pada Indah.
Sesampainya ditempat Minto.dia cerita panjang lebar keadaan Lita yang sebenarnya tapi dengan jujur dal lantang ternyata mas Minto menjawabkalau dia benar tak tahu apa-apa mengenai penyakit yang diderita Lita. Minto juga terkejut mendengar berita Indah itu.
            “Maaf mbak Indah, saya tak tahu kalau neng Lita sakit Diabetus Millitus alias kencing manis. Saya merasa menyesal selama empat hari kemarin saya mengijinkan neng Lita memakan kue putu manis buatan saya.
            “Ya sudah, saya hanya mau memberitahukan hal itu saja pada mas Minto. Dan jika lain waktu Lita adik saya mau beli dagangannya mas. Tolong dinasihati saja. Terserah mas Minto saja bagaimana caranya”.Kata Indah.
            “Kalau begitu, saya pamit mau pulang dulu mas.”
            “Ya, silakan mbak Indah. Hati-hati di jalan. Salam buat neng Lita dan Ibu di rumah. Semoga neng Lita cepat sembuh.
Setelah kepulangan Indah dari rumah Minto. Ternyata dia mendapati bahwa rumah sudah kosong. Kata tetangga, Ibu sedang membawa Lita berobat ke rumah sakit.   Tak lama kemudian, Indah pun menyusul ke rumah sakit. Ternyata, dokter Agung meminta agar Lita dirawat di rumah sakit saja, karena setelah diperiksa, ternyata penyakit jantung Lita kambuh dan penyakit kencing manisnya mulai kronis. Dia butuh perawatan khusus.
            Karena tekanan darahnya semakin tinggi dan kondisinya semakin memburuk, dokter Agung segera meminta para perawat untuk membawa Lita ke ruang ICU. Indah dan Ibu menunggu di luar ruang ICU. Mereka berdua cemas dengan kondisi Lita yang semakin memburuk. Hampir dua jam mereka menunggu di luar ruangan. Dan tak lama kemudian, dokter Agung dan para perawatnya keluar. Hati Ibu semakin deg-degan melihat raut wajah dokter Agung yang mulai tak bersahabat dengan Ibu. Dokter Agung ikut sedih. Ternyata, karena kondisi Lita semakin memburuk jadi nyawanya tak bisa tertolong lagi.
            “Kami mohon maaf, Bu. Karena ini semua sudah kehendak Allah, maka kami tidak dapat menyelamatkan nyawa putri Ibu.” Jelas dokter Agung dengan nada lirih.
            “Ibu menangis histeris. Memorinya kembali teringat pada masa lalu ayahnya yang sebelum meninggal juga mengalami hal yang sama dengan Lita.
Tiba-tiba mas Minto muncul dari belakang. Dia juga sempat mendengar penjelasan dari dokter tentang meninggalnya Lita. Ia pun ikut sedih dan merasa bersalah.
            Setelah selang beberapa hari meninggalnya Lita. Setiap pagi mas Minto masih tetap berjualan kue putu manis. Dan ia selalu berhenti di depan rumah Lita. Ia teringat senyum manis Lita dan teringat pula setiap pagi Lita selalu memanggilnya untuk membeli kue putu manis dagangannya. Bayang-bayang itu tak bisa hilang dari benak mas Minto. Ia tidak akan pernah bertemu dengan Lita si pelanggan kue dagangannya. Namun Indah lah yang menggantikan untuk membeli kue putu manis buatan mas Minto. Mas Minto tetap senang. Selain dagangannya tetap laku, dia juga masih bisa dekat dengan keluarga Lita yang sangat menyukai kue putu manis buatannya yang selalu ia jajakan setiap pagi itu. Dari situlah Minto dapat mengambil hikmah, bahwa Allah lah yang menentukan hidup dan matinya setiap makhluknya. Semua yang ada di dunia ini hanyalah milik Allah semata.

BIOGRAFI PENULIS

            Isya Rahmahwati, lahir di Yogyakarta 16 Agustus 1989. Menyelesaikan studinya SD di Madrasah Ibtidaiyah Negeri II Yogyakarta, SMP Negeri 1 Pleret Bantul Yogyakarta, SMA di Madrasah Aliyah Negeri Yogyakarta II. Saat ini sedang menempuh S1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan di Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.
            Beberapa karya sastra telah ditulisnya. Diantaranya cerpen, puisi, dan artikel. Beberapa karya sastranya telah dikirimkan di media massa. Kali ini Isya Rahmahwati telah memiliki kesempatan untuk menulis cerpen yang akhirnya selesai juga tepat pada waktunya, dan cerpen tersebut berjudul “ Kue Putu Manis” yang ditulisnya guna memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Fiksi. Semua hasil karyanya ditulis berdasarkan inspirasi dan ada pula yang berdasarkan pengalaman pribadi.
            Sebelum kegemarannya menulis timbul, sewaktu duduk di bangku SMA Isya Rahmahwati bergabung di kelompok mading, dan di sanalah ia mendapatkan sedikit ilmu tentang tulis-menulis yang kemudian dikembangkannya melalui menulis puisi, cerpen dan artikel. Judul puisi yang pernah ditulisnya antara lain berjudul Khayalan, Realita Cinta, Langit Jingga dan masih banyak lagi puisi yang lainnya. Sedangkan Cerpen yang pernah ditulisnya diantaranya berjudul Kanangan Lebaran, cerpen yang kedua berjudul Penyesalan Ibu, dan yang ketiga berjudul Kue Putu Manis. Cita-cita Isya Rahmahwati yaitu menjadi pengajar/guru yang teladan yang dapat mengubah bangsa Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya












CERPEN

“KUE PUTU MANIS”

Dibuat Guna Memenuhi Tugas Akhir Semester VI Mata Kuliah Penulisan Fiksi
(Dosen Pengampu : Dra. Rina Ratih.S. S. M. Hum)





Oleh
NAMA           : ISYA RAHMAHWATI
NIM                : 07003015
KELAS          : C



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN
YOGYAKARTA
2009